• home
Home » » Cerita Eksibisionis Resty : Perselingkuhan Yang Tak Direncanakan

Cerita Eksibisionis Resty : Perselingkuhan Yang Tak Direncanakan

Masih pukul empat kurang ketika aku terjaga. Tak biasanya aku terbangun sedini ini. Dengan pikiran melayang aku masih berbaring di tempat tidur. Lamat-lamat aku teringat dengan kata-kata Neni seminggu lalu.
"Oh... jadi Mbak juga jadi korban rayuan cabul Mas Andre?" katanya seperti menahan tawa.
"Yah... begitulah, Nen. Mbak bingung musti ngapain. Secara dia seruangan sama Mbak, tiap hari ketemu. Untung Mbak ketemu Ria sama Evi. Katanya dia dulu juga pas baru-baru kerja di sini suka dirayu-rayu gitu sama Andre. Tapi Ria sama Evi malah nyuruh ketemu kamu. Kata mereka kamu mantan Andre."
"Iya emang," balasnya enteng.
"Terus. Gimana caranya biar kayak Ria sama Evi? Biar gak digangguin lagi sama Andre."
"Oooh itu. Aku suruh aja mereka bilang kalo mereka udah tahu sebab putusnya aku sama Mas Andre."
"Terus?"
"Udah. Itu aja."
"Kok bisa? Emang ada rahasia apa?" cecarku.
"Ih... ya udah itu aja. Cuman segitu aja kok caranya."
Aku menatap Neni lekat-lekat, mencoba membuat ia jujur dengan pandanganku yang penuh selidik.
"Oke... oke... Neni jujur. Itupun karena Mbak Resty sudah merid, gak kayak Ria sama Evi yang masih cupu-cupu."
Akhirnya, Neni mau juga memberikan rahasia yang akan menjadi pembebasku dari rayuan cabul si Andre.
"Gini, Mbak..." lanjut Neni. "Sebenarnya...., mmm kami..., saya sama Mas Andre itu.... putus karena... mmm." Neni mendekatkan wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. "karena Mas Andre cepet keluar," bisiknya.
"Cepet keluar gimana?" kataku belum mengerti.
"Ssssttt... jangan keras-keras. Biar mantan, aku juga gak mau Mas Andre malu karena kelemahannya diumbar."
"Maksud kamu apa?" Dengan latah aku malah ikut berbisik.
"Ih... masa sih gak paham. Kan udah merid." Neni malah tampak bingung menjelaskan.
"Cepet keluar," bisiknya lagi. "Cepet selesai kalo ML."
"Oo.." Aku hanya ber-o dalam bisikan. Jadi itu yang menjadi senjata Ria sama Evi untuk menghentikan rayuan cabul Andre pada mereka. Dengan mengatakan bahwa mereka tahu sebab putusnya Andre dari Neni, sama saja mereka seperti tahu bahwa Andre ejakulasi dini. Laki-laki manapun pasti downlah kalau rahasia keperkasaan mereka diketahui oleh incaran mereka.
Hmmm... jadi itu kuncinya. Tapi tunggu, dari mana Neni tahu.
"Terus kamu tahu dari siapa?" cecarku lagi pada Neni. Orangnya malah tersipu-sipu.
"Jadi kamu sama Andre sudah..."
Anggukan malu-malu Neni memotong kalimatku.
"Yaaa... tapi itulah. Kasian juga sih Mas Andre. Padahal sejujurnya aku sayang kok sama dia, makanya kasi perawan ke dia," cerita Neni.
"Tapi lama-lama aku heran, Mbak. Katanya ML itu enak, ada klimaknya. Aku kok gak pernah tahu rasanya. Sampai..." Neni tampak kaget dengan ceritanya sendiri seperti orang yang keceplosan bicara.
"Sampai apa?" kejarku.
"Iiiihhh... tuh kan... malah jadi Mbak tahu semuanya."
"Sampai apa?" Aku tak mau menyerah.
"Sampai... sampai... aku sama Pak Ridwan..."
"Jadi, kamu sama Pak Ridwan, direktur kita sudah...." Kalimatku tak selesai melihat anggukan Neni.
"Dari Pak Ridwan Neni tahu rasanya klimaks. Jadi sebenarnya saya duluan yang selingkuh dari Mas Andre."
Bayangan percakapanku dengan Neni terhenti ketika aku rasakan Mas Hendra, suamiku, bangun dari tidurnya.
"Sudah bangun, Ma?" sapanya ketika melihatku sudah membuka mata.
"Sudah dari tadi, Pa."
Mas Hendra menjangkau handphone di samping tempat tidur.
"Hmm... masih dini hari," katanya seraya meletakka handphone kembali.
kemudian kurasakan ciuman mendarat di bawah telingaku. Geli nikmat langsung kurasakan merambati tubuhku.
"Ih, apaan sih Pa..." kataku menghindar tak sepenuhnya.
"Masih ada waktu buat quickie," katanya seraya mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajahku. Sedetik kemudian aku sudah berada di bawah dekapannya. Mas Hendra dari atas tubuhku melumat bibirku dan kubalas dengan permainan lidah yang tak kalah panasnya.
Ini sering kami lakukan kalau kami bangun terlalu cepat. Dari bawah tindihan Mas Hendra yang menopang berat badannya dengan kedua sikunya, tanganku balas mendekap tubuh Mas Hendra dan mengelus-elus punggungnya dengan telapak tanganku, menelusupkan tangan ke dalam tubuh bagian belakang Mas Hendra dari bawah piamanya.
Kurasakan satu tangan Mas Hendra juga menelusup dari bawah baju tidurku, merambat naik menemukan payudara yang tak pernah kututupi BH kalau tidur. Jemari Mas Hendra kurasakan membelai areolaku, meremas gundukan dadaku dengan pijatan yang nikmat, hingga akhirnya kurasakan sebuah jari menekan dan memelintir dengan lembut dan nikmat di puting susuku yang seketika mengeras karena menerima rangsangan yang begitu intens.
"Ahhh...." Tak kuasa erangan keluar dari mulutku melepaskan kulumanku dari ciuman bibir Mas Hendra. Tanganku kemudian membuka kancing piama Mas Hendra dengan cepat dan membelai dada bidang yang terpampang di atasku. Mas Hendra tak mau kalah, baju tidurku disingkap hingga leher membuat kedua bukit payudaraku menyembul dengan menantang di hadapannya. Tak menyia-nyiakan waktu, sementara satu tangannya masih memijit dan memilin-milin satu payudaraku, mulutnya kemudian mendarat di payudara sebelahnya lagi, hingga segera kurasakan sedotan nikmat diiringi sapuan lidah tak henti-henti di puting susuku.
"Ouuh..., Masss...." Aku memekik dan kembali mendekap Mas Hendra di atasku. Kepalaku mendongak ke atas meresapi rangsangan di payudaraku. Pilinan dan kuluman di puting susuku mengantarkan geli nikmat yang membuat liang vaginaku menggelora. Dalam sekejap aku sudah merasakan lorong-lorong di kemaluanku menghangat. Aku sudah basah.
Sementara Mas Hendra terus memainkan payudaraku bergantian kiri dan kanan, bergantian pula tangan dan mulutnya, tanganku mulai menelusup ke karet celana piama Mas Hendra. Sambil menahan gelora nikmat di payudaraku, tanganku mendorong pinggang Mas Hendra agar tanganku diberi sedikit ruang untuk menemukan yang kucari. Diiringi pantat Mas Hendra yang sedikit naik, aku geser tanganku ke bagian depan celana Mas Hendra hingga menemukan apa yang kucari, sebuah batang yang hangat yang tak pernah memakai celana dalam di rumah terasa kenyal di tanganku. Aku mengelus-selus lembut batang itu hingga perlahan kurasakan batang itu makin mengeras dalam genggaman tanganku.
"Ohhh..., Res..." Mas Hendra melepaskan kulumannya dari payudaraku ketika aku mempercepat kocokanku di batang penisnya. Ia bangkit berlutut di antara kedua pahaku kemudian melorotkan celana piamanya hingga lutut. Aku bangkit duduk mengangkangi tubuh Mas Hendra, beringsut mendekati batang penis yang mengacung ke wajahku. Diawali jilatan-jilatan di bawah kepala penis Mas Hendra, aku mencaplok batang penis itu dan mengulum-ngulumnya dalam permainan lidah yang dahsyat.
"Ahh... wow!!" Mas Hendra mendorong pelan kepalaku menjauhi penisnya. Dengan dorongan ringan, aku kemudian kembali berbaring mengangkangi Mas Hendra di antara pahaku. Mas Hendra kemudian meraih karet celana piamaku sekalian karet celana dalamku. Kedua pakaian bawahku kemdian ditarik bersamaan. Aku mengangkat kedua kakiku agar Mas Hendra mudah meloloskan keduanya.
Kedua kakiku kembali mendarat di kedua sisi tubuh Mas Hendra. Terlentang pasrah di hadapan Mas Hendra, tubuhku dari dada sampai bawah sudah tak berpenutup lagi. Sementara Mas Hendra dengan baju yang terbuka kancingnya seluruhnya dan celana yang telah melorot, mulai merangkaki tubuhku dan mendaratkan ciuman dibibirku. Kulebarkan pahaku sejauh-jauhnya ketika kurasakan pinggang Mas Hendra mulai mencari-cari posisi untuk mengarahkan penisnya ke arah vaginaku. Kurasakan penis Mas Hendra menusuk-nusuk di selangkanganku, perlahan mulai menemukan celah vaginaku, terus menusuk-nusuk hingga kepala penis itu tepat terasa di lubang vaginaku.
"Ohh.... Masss...." Aku terpekik. Penis itu melesak membelah bibir vaginaku yang sudah basah, menerobos mengisi mili demi mili lorong vaginaku yang meregang menyambut batang hangat yang terasa berdenyut menindihi clitorisku.
Mas Hendra mulai menggoyangkan tubuhnya ketika kurasakan lorong vaginaku telah beradaptasi dengan batang penis yang dilesakkan sepenuhnya. Aku mengerang meluahkan perasaan nikmat di tubuhku merasakan pilinan jari Mas Hendra di putingku sembari tak menghentikan tusukan-tusukan penuh penisnya di vaginaku. Kurengggangkan pahaku makin lebar saat kurasakan ujung penis Mas Hendra mengaduk-aduk rahimku. Batang penis itu terasa penuh di lorong vaginaku, menggesek-gesek syaraf tersensitif di dinding-dinding vaginaku. Pangkal penis dan bulu-bulu halus kemaluan Mas Hendra membuatku terpekik ketika dengan intens terus menerus mengetuk clitorisku, sementara pangkal penis bawah menggesek dengan nikmat lubang vagina dekat duburku hingga tak ayal lagi kurasakan buah pelir yang menepuk-nepuk lubang anusku yang terbuka lebar karena pahaku merenggang sepenuhnya.
Kami berdua bergoyang mengejar puncak kenikmatan ketika lamat-lamat terdengar suara handphone dari tas kerjaku. Mas Hendra menghentikan goyangannya.
"Apa aku mendengar suara HP?" Mas Hendra menoleh ke handphone pribadiku yang terletak di samping handphonenya, namun bukan itu yang menyala.
"Kamu nyalakan HP kerja di rumah?" Raut kesal tak bisa disembunyikan Mas Hendra.
"Ahh..." Tak dapat kutahan pekikanku ketika Mas Hendra bangkit dengan kesal membuat penisnya terlepas begitu cepat dari vaginaku.
"Maaf, Mas..." Perasaan bersalah berkecamuk bercampur dengan hasrat yang tak tertuntaskan.
"Ya sudah... angkat sana." Mas Hendra menaikkan kembali celananya, menutup penis yang masih berdiri tegak menuntut penuntasan.
"Gak apa-apa, Mas. Kita lanjutin..." Mas Hendra menepis tanganku yang terulur hendak mencegahnya pergi ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian terdengar suara shower.
Hanya menurunkan baju piyamaku, melangkah ke tas kerjaku dengan tubuh bagian bawah tetap telanjang. Kuperiksa panggilan masuk, ternyata dari Sinta sahabat kuliahku yang kini teman sekantorku. Kesal kumatikan handphone itu dan melangkah ke dapur menyiapkan sarapan. Hanya berbalut baju piyama, aku sibukkan diri di dapur, sementara pikiranku menerawang pada percakapanku dengan Sinta beberapa hari yang lalu.
"Ya sudah... kamu tinggal lakuin aja kayak Ria sama Evi." Sinta memberikan saran padaku setelah mendengar ceritaku tentang Andri dan Neni.
"Maunya sih gitu... tapi..."
"Tapi apa sih, Res?" Sinta tampak tidak sabaran.
"Coba bayangin, Sin. Neni ninggalin Andre setelah tau enaknya ML dari Pak Ridwan. Terus sekarang semua cewek ninggalin dia hanya gara-gara Neni. Gimana coba..."
"Ya... salah sendiri mesum."
"Kan kasian, Sin."
"Restiiii.... Resti. Kamu tuh kerja di sini, bukan buat kasianin cowok macam Andre. Coba bayangin, kamu tuh baru diterima kerja di sini udah digodain, padahal kan tau kalo kamu itu merid." Sinta berapi-api.
"Ato gini aja...," lanjut Sinta. "Kamu turutin aja sekalian ML sama dia... terus tunjukin kalo kamu itu gak puas pas dia keluar kecepetan."
"Ihhh... gila apa Sin!!! Aku selingkuh dong..."
"Yee... selingkuh itu kalo kamu tuh suka juga. Kalo gini kan sama aja kamu diperkosa."
"Ah.. udah ah... malah ngaco. Mending ngikutin caranya si Ria sama Evi aja."
"Nah.... kan. Udah ngeyel-ngeyel ujung-ujungnya balik ke awal.... ha ha."
Lamunanku sambil menyiapkan sarapan terhenti ketika terdengar Mas Hendra keluar dari kamar mandi.
"Sarapan, Mas." Aku masih melihat kekesalan di wajah Mas Hendra. Memang kami sudah punya komitmen untuk mematikan handphone khusus kerja kalau di rumah. Tapi entah mengapa aku lupa mematikan handphoneku kemarin. Akhirnya kami sarapan dalam diam.
Selesai sarapan aku ke kamar mandi sementara Mas Hendra berpakaian. Di kamar mandi aku bercermin memperhatikan diriku dalam ketelanajangan. Merenungkan kembali rayuan-rayuan cabul Andre sejak aku masuk kerja di kantorku beberapa bulan lalu. Aku masih baru kerja di kantorku ini, itu kulakukan setelah Mas Hendra mengizinkanku kembali bekerja karena Pak Ridwan, direktur kantorku, masih ada hubungan kerabat dengannya. Namun kenyamananku bekerja terganggu oleh ulah atasan divisiku bekerja, Andre. Sebetulnya dia bukan atasanku, karena aku langsung bertanggung jawab ke Pak Ridwan, dia hanya sebagai senior saja di divisiku, tak lebih.
Aku mulai mengguyurkan air shower ke tubuhku. Entah mengapa aku teringat kembali usul ngaco Sinta, mengajak Andre ML. Entah karena hubungan sex yang menggantung dengan Mas Hendra tadi, atau memang karena usul itu begitu menantang, aku jadi berdebar membayangkan diriku merelakan dijadikan pelampiasan sex si Andre cabul. Namun begitu, dengan membayangkan saja aku merasakan hangat di vaginaku, ada getar halus yang membuat aku bergairah. Namun demi mendengar panggilan Mas Hendra yang akan mengantarku kerja ke kantor, aku mempercepat mandiku yang berbalut birahi.
Hanya berbalut handuk yang hanya menutupi dada sampai pahaku, aku keluar dari kamar mandi menemukan Mas Hendra sudah mengenakan kemeja kerjanya, sementara bagian bawah tak kulihat celananya, dia tampak sedang mencari-cari celana dalamnya di lemari. Dengan diam aku ke samping Mas Hendra juga mencari celana dalam di bagian bawah. Aku jongkok di samping Mas Hendra. Sekali lagi birahiku terpercik ketika menyaksikan gelantungan di pangkal paha Mas Hendra. Batang yang gemulai guntal gantul itulah yang tadi memompaku menuju puncak birahi, yang sayangnya harus terinterupsi oleh handphone terkutuk yang lupa kumatikan.... hhhh.
Ketika mengangkat wajahku, mataku bersitatap dengan Mas Hendra yang kupergoki juga tengah mengamati selangkanganku yang terekspose karena jongkok mencari celana dalam di sampingya. Gelora gairah kami kembali meletup, Mas Hendra menarik wajahku dan kembali kami berpagutan mesra. Dan entah dengan cara apa handuk ku sudah melorot menyisakana ketelanjangan sempurna tubuhku di hadapan Mas Hendra, sementara kurasakan penis Mas Hendra sudah tegak sempurna dalam genggamanku ketika aku menjangkaunya.
"Plopp... ahhh..." perpisahan mulut kami menyisakan suara plop yang kencang.
"Mas, gimana dong? udah kesiangan nih," seruku terengah menahan nafsu.
Mas Hendra mengangkat bahu dan menyerahkan kembali celana dalamku yang terjatuh ketika berpagutan tadi.
"Masih banyak waktu nanti sepulang kerja," kata Mas Hendra juga dengan nafas yang sedikit menderu.
"Huuu.... kaciaaaann....." Aku bercanda membelai penis Mas Hendra yang masih tegak mengacung. Mas Hendra menepisnya lembut dan mengambil celana dalamnya dan mengenakannya dengan cepat. Kami berpakaian dan bersiap ke kantor. Dengan tanktop tipis berbalut blazer merah hati dengan rok mini selutut warna senada, aku mengiringi langkah Mas Hendra ke mobil.
Sepanjang jalan tangan Mas Hendra tak henti-henti menggerayang apa saja yang dapat ia jangkau dari tubuhku, seakan ingin melampiaskan rasa gereget karena nafsu yang tak tertuntaskan pagi ini. Sementara aku hanya mampu berusaha menepis hasrat yang terus-menerus menerima godaan. Sesampai di kantorku, kami berpisah dengan ciuman dahsyat yang sangat basah.
"Nanti kujemput seperti biasa." Mas Hendra melambaikan tangan sebelum melajukan mobilnya berlalu. Tiap hari aku diantar jemput Mas Hendra karena kantor kami tak begitu jauh, hanya 30 menit, itupun sudah ditambah lama macet. Jika lancar malah lebih cepat lagi.
Sepeninggal Mas Hendra, aku harus mengambil selembar tissu untuk mengusap leleran liur di daguku, aku harus ke kamar mandi untuk merapikan lipstikku.
Ketika memasuki lobi bangunan kantorku, aku tertegun dengan suasana yang agak lengang. Walaupun belum masuk jam kerja, biasanya para karyawan sudah ramai.
"Kok sepi, Pak," tanyaku pada Satpam yang tengah memainkan handphone, tak menghiraukan kedatanganku karena memang sudah biasa.
"Oh... pada ke ruang meeting, Non," jawabnya tanpa mengangkat matanya dari handphone.
"Emang ada rapat?"
Pak Satpam akhirnya menoleh ke arahku.
"Tadi Pak Ridwan telepon, Non. Semua karyawan disuruh ngumpul nungguin beliau di ruang meeting."
"Pak Ridwan udah dateng?"
"Belum, Non. Tapi udah pada ke ruang meeting semua orang-orang."
Aku meninggalkan Pak Satpam yang sepertinya tak sabar lagi hendak main game di handphonenya. Masih ada waktu kalau Pak Ridwan belum datang untuk menaruh tasku di meja kerjaku. Aku melangkah cepat ke Divisi tempat kerjaku di lantai tiga.
"Sudahlah, Nen. Kamu gak perlu urusin hidup aku lagi. Kita sudah selesai!"
Aku menghentikan langkahku di depan pintu ketikan mendengar suara keras Andre. Sepertinya dia juga belum pergi ke ruang meeting.
"Iya... aku tahu, emang bukan urusan aku. Tapi ini untuk kebaikan kamu juga, Andre..." Suara Neni seperti berusaha tenang.
"Sejak kapan kamu peduli!?"
"Andre..., aku tahu semua salahku kita berpisah. Tapi bukan berarti itu jadi alasan untuk kamu mengumbar kevulgaran gitu sama semua orang."
"Oh, ya? Seperti kamu yang tak akan mengumbar kevulgaran dengan Pak Ridwan?"
Sepertinya Andre dengan Neni sedang bertengkar, aku tak jadi masuk ke ruangan tapi tak ingin beranjak dari balik pintu.
"Andre..., Ok,  aku salah. Tapi itu hal yang beda, Andre."
"Apa bedanya. Kalo kamu aja bisa seenaknya selingkuh, main gila sama Pak Ridwan, kenapa aku ga bisa? Kamu bisa lakukan justru saat kita masih pacaran, kenapa aku ga bisa padahal aku ga ada hubungan sama siapa-siapa?"
"Karena kamu gak mampu, Andre!"
Andre terdiam dengan jawaban tegas Neni.
"Andre," panggil Neni lembut. "Kamu tuh harus nyadar, nggak kayak gitu caranya deketin cewe. Kamu tuh harus tahu diri, sex itu kelemahan kamu. Masih banyak cara lain untuk menyenangkan cewe selain sex yang hebat."
"Ya..." Suara Andre lemah. "Seperti aku berikan semua ketulusanku untuk menyenangkan kamu hingga kamu mencari kenikmatan sex dari Pak Ridwan."
"Itulah sebabnya aku tak pantas untuk kamu, Andre."
Ketika aku sedikit mengintip, kulihat Neni mendekati Andre dan memegang kedua pipi laki-laki itu.
"Andre, kamu yang sekarang bukan Andre. Andre yang aku kenal itu lembut, tulus, gak mesum kayak sekarang. Apalagi goda-godain istri orang."
"Maksudmu Resty?"
Kulihat Neni menganggukkan wajahnya.
"Sebetulnya aku seneng kamu mulai move on sama Ria, sama Evi. Cuman gara-gara kamu mesum terpaksa aku suruh mereka ngomong kalo mereka tahu sebab kita putus."
"Jadi sebetulnya mereka gak tahu?"
Tampak Neni tersenyum lagi menganggukkan wajahnya.
"Sebenernya Ria baper loh sama kamu. Kamunya aja yang udah down  duluan gara-gara omongan mereka. Mending Ria daripada Resty. Aku tahu Resty itu lebih cantik, tapi dia itu istri orang, Andre."
"Bukan hanya cantik, Nen. Resty itu sempurna."
Neni menjitak kening Andre. "Kamu dekatin dia, aku sebarin kalo kamu ejakulasi dini."
Suara sepatu Evi yang bergegas ke tangga mengagetkaku.
"Kenapa, Vi?" kataku yang entah kenapa juga bergegas mendekatinya.
"Pak Ridwan udah dateng. Sekarang lagi parkir mobilnya."
Tanpa banyak tanya lagi, aku mengikuti langkah cepat Evi menuruni tangga menuju ruang meeting di lantai satu. Kuurungkan niat menaruh tas di meja kerjaku, itu nanti saja, Pak Ridwan tidak pernah suka jika ada yang menyusul ke ruang Meeting setelah beliau ada di sana, itu yang kutahu dari rumor di kalangan karyawan.
Andre dan Neni menyusul memasukin ruang meeting tak lama setelah aku meletakkan pantatku di kursi pojok. Mungkin mereka bisa melihat Pak Ridwan datang dari jendela lantai tiga. Pak Ridwan memasukin ruangan bahkan sebelum mereka menemukan kursi kosong untuk duduk.
Rapat pagi itu sebetulnya hanya berupa evaluasi rutin. Namun karena aku baru di kantor ini, rapat ini adalah yang pertama untukku. Pak Ridwan memimpin rapat dengan tegas dan penuh wibawa, aku tak melihat sedikitpun rona cabul di wajahnya, kesan bahwa dia punya affair dengan Neni tak tampak sama sekali. Saat Andre mengemukakan usul-usulnya, tak tampak kalau dia memiliki masalah keperkasaan, begitu percaya diri. Sisi lain manusia sepertinya sulit ditebak.
Selesai meeting, entah mengapa Andre yang biasanya selalu menggodaku dengan rayuan-rayuan cabulnya tampak canggung. Ia seperti menghindari untuk berinteraksi denganku. Sempat aku berpikir bahwa dia tahu aku mencuri dengar pertengkarannya dengan Neni, namun kutepis dugaan itu, terlalu mustahil. Sementara aku, dengan perubahan drastis dalam sehari itu, aku juga merasa seperti ada yang lain, ada rasa bersalah bahwa aku meremehkan Andre hanya karena masalah keperkasaan ranjang, alangkah naifnya. Tambahan lagi seperti ada yang hilang karena hari ini tak ada rayuan-rayuan cabul dari Andre... betul-betul aneh, terasa sepi.
Kecanggungan berlanjut hingga menjelang pulang kantor. Saat Ria dan Evi sudah tak ada di ruangan, Andre tampak buru-buru menyelesaikan pekerjaanya dan hendak pergi ketika aku mencegahnya.
"Mau kemana, Andre?"
"Eh.. anu... hmmm ... itu...."
Aku melangkah mendekati meja Andre. Ia tampak pias ketika aku berdiri di hadapaqn mejanya.
"Kamu kenapa, sih?"
"Enggak apa-apa kok, Res."
"Beneer?"
Andre terdiam nampak seperti menimbang-nimbang untuk mengatakan sesuatu.
"Hmmm..., Res," katanya setelah agak lama. "Aku... mmm aku minta maaf kalo selama ini ganggu kamu terus."
"Oh ya?"
"Aku serius, Res. Aku mungkin sudah keterlaluan sama kamu. Nggak menghormati pernikahan kamu."
Hampir aku keceplosan mengejek Andre karena aku tahu sebenarnya dia hanya takut ketahuan ejakulasi dini. Tapi demi mengingat bahwa Andre belum tahu kalau aku tahu kelemahannya, aku urungkan niatku.
"Aku sih oke-oke aja km minta maaf. Cuman heran aja kenapa kamu gitu." Akhirnya kata-kata yang terucap dariku seperti itu.
"Kan ada Ria, ada Evi, kenapa kamu mesti godain aku coba." Aku sengaja memancing Andre seakan-akan belum tahu kalau sebelumnya dia pernah menggoda Ria dan Evi.
Agak lama Andre terdiam sebelum akhirnya menjawab.
"Mmm... maaf-maaf aja nih ya, Res. Justru karena kamu merid makanya aku incar godain kamu."
"What...??? Ga salah denger nih aku, Andre?"
"Sorry... ma'aaaf banget, Res. Makanya aku gak bakalan lagi deh sekarang gangguin kamu lagi. Janji, sumpah, suer."
"Bukan gitu, Andre. Aku belum ngerti. karena aku merid maksudnya apa?"
"Hmmm... gini. Tapi kamu jangan marah ya. Karena kamu merid maksudnya... seandainya... seandainya nih... seandainya betul-betul terjadi, kamu kan gak bakal rugi-rugi amat. Gak kayak Ria ato Evi yang belum merid, siapa tau mereka pada masih perawan." Andre menjelaskan panjang lebar.
"Rugi apaan?" cecarku, padahal aku sudah tahu ruginya cewek kalau sampai ML dengan Si Andre yang ejakulasi dini ini.
"Ya... rugi... maksudnya... ya... rugi."
Aku tertawa dalam hati melihat Andre salah tingkah kucecar seperti itu. Sementara suasana kantor sudah mulai sunyi. Aku melangkah ke jendela memandang ke luar kantor, melihat suasana jalanan di depan kantor yang mulai sedikit-demi sedikit memadat karena jam pulang kantor. Di tempat parkir sudah tak ada lagi kendaraan. Tampak sebuah motor yang kuyakini milik Andre dan motor bebek milik Pak Satpam yang tersisa. Kutengok arloji di lenganku, ini sudah jam pulang suamiku.
Sementara pandanganku ke luar, pikiranku menerawang. Terbayang lagi pembicaraan dengan Sinta beberapa hari yang lalu. Diselimuti kesunyian kantor, ada debaran aneh di hatiku ketika membayangkan kata-kata Sinta "Kamu turutin aja sekalian ML sama dia... terus tunjukin kalo kamu itu gak puas pas dia keluar kecepetan." Ide gila memang. Namun dengan kenyataan kini Andre sudah bertekuk lutut karena kata-kata Neni, ditambah lagi kata-kata Andre barusan bahwa tak ada ruginya bagiku, aku merasa usul Sinta itu seperti bujukan setan cinta yang begitu kuat. Dan entah datang dari mana tiba-tiba sebuah dorongan membuat kata-kataku meluncur keluar dari mulutku.
"Kalo kamu mau... kamu boleh ML sama aku."
"Apa, Res!?" Aku mendengar suara ketidak mengertian, kekagetan, dan entah mungkin sedikit harapan dalam suara Andre.
Tanpa menjelaskan dengan kata-kata, kusingkapkan rok miniku ke atas kemudian mengambil posisi nungging dengan berpegangan pada kusen jendela. Tanpa menoleh, kujulurkan tangan kanan ke belakang dan meminggirkan karet tengah celana dalamku, mencoba memperlihatkan belahan kemaluanku pada Andre yang ada di belakangku.
"Kalo kamu mau... kamu boleh ML sama aku sekarang juga." Aku mengucapkan kata-kata itu sejelas mungkin setelah menarik nafas menahan getaran jantungku yang menggemuruh.
"Res... mak... makssudmu...?" Gagap terdengar suara Andre.
Aku menoleh memandangnya yang masih terkaget-kaget di tempat duduknya.


"Maksudku.... kamu... boleh... masukin... titit kamu... ke... memek aku ini..." Aku mengakhiri kata-kataku yang sepelan dan sejelas mungkin itu dengan menarik bibir vaginaku sebelah kanan dengan jari tengahku, sementara menggenggam karet celana dalam. Aku tak tahu entah bagaimana rupa kemaluanku saat itu. Yang pasti dinginnya AC terasa mengusik bagian yang terdalam mulut vaginaku. Entah selebar apa bibir vaginaku terkuak memamerkan celah-celahnya saat itu.
"Rrr... Res... kamu... kamu..." Masih saja Andre belum terbebas dari shocknya.
Aku mengedipkan mata dengan segenit-genitnya padanya. Kebinalan macam apa yang sedang kutunjukkan tak pernah kumengerti. Keberanian konyol macam apa yang tengah aku jalani saat ini tak bisa dijelaskan.
"Andre, aku pengen kamu em elin aku sekarang juga, di tempat ini juga," kataku tegas kemudian mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dengan mempertaruhkan harga diri, aku melanjutkan kata-kataku sambil memejamkan mata dan hati bergemuruh.
"Aku menunggumu, Andre. Atau kesempatan ini tak akan datang lagi dalam sepuluh... sembilan..."
Ku dengar suara kursi bergeser.
"Delapan... tujuh..."
Kudengar suara derap sepatu mendekat.
"Enam... lima..."
Aku hanya mendengar gemuruh jantungku yang semakin kencang.
"Empat... tiga... dua..."
Harga diriku terasa hampir jatuh, rupanya aku sudah terlalu binal bagi Andre. Aku sudah bersiap melepaskan karet celana dalamku hingga...
"Ahh...!!!"
Tak bisa kusembunyikan kagetku ketika kurasakan sebuah sentuhan bergetar di mulut vaginaku tepat pada akhir hitungan. Bisa kurasakan dinginnya tangan Andre gemetar di selangkanganku.
"Lepaskan tanganmu, Andre."
Aku menoleh dan melihat wajah bingung Andre yang berdiri tepat di belakangku.
"Aku hanya mengizinkanmu memasukkan barangmu, tak ada yang lain. Bahkan tanpa melepaskan pakaianmu."
Kulepaskan peganganku pada karet celana dalamku dan meraih pegangan zipper celana Andre dan menurunkannya.
"Keluarkan batangnya dan masukkan!" perintahku tegas. Entah mengapa ada rasa puas berkuasa yang menderaku ketika melirik wajah Andre yang masih penuh tanda tanya. Tanpa mempedulikannya kupinggirkan lagi karet celana dalamku dan menguak bibir vaginaku dengan jari tengahku.
"Cepat, Andre. Waktumu hanya sampai suamiku datang menjemputku," desakku sambil menatap ke luar jendela pada deretan mobil-mobil macet yang mulai mengular di jalan depan kantor.
Kudengar suara kresek-kresek celana Andre dengan tegang. Hatiku menclos ketika merasakan benda hangat menyentuh liang vaginaku yang telah menganga. Tak bisa kutahan pinggangku melengos ketika benda itu mulai mendorong hingga bisa kurasakan kepala penis terpeleset ke selangkanganku. Andre menarik kembali batang kemaluannya itu memberi kesempatan padaku untuk memposisikan pinggangku seperti tadi lagi. Kali ini kusiapkan mentalku agar menerima sodokan penis itu hingga mencoba menahan diri ketika kepala penis itu kembali menempel di liang vaginaku. Saat kepala penis itu hendak menerobos, lagi-lagi pinggangku melengos. Tak bisa kutahan nyeri saat celah vaginaku yang masih kering membelah menerima benda tumpul yang memaksa masuk.
"Resty..., ini tak kan pernah terjadi kalau kamu gak kasi aku kesempatan." Suara Andre bergetar di belakangku.
"Ok, Andre. Sekali lagi sekarang." Kutarik napas dalam-dalam menyiapkan diriku dan menarik bibir vaginaku lebih jauh agar membuka akses lebih lebar untuk penis Andre.
Kugigit bibir saat kepala penis Andre kembali menyentuh liang vaginaku. Aku tegang saat batang itu mencoba menerobos masuk.
"Ahh!!!" Aku terpekik saat penis itu masuk tak sampai setengah senti. Kondisi vagina yang kering menyebabkan nyeri tak tertahankan membuat pinggulku kembali melengos membuat penis itu kembali terpeleset.
"Aku belum basah, Andre," keluhku saat mempertimbangkan untuk mengoral penis itu sebelum masuk. Tak ada waktu untuk merangsang aku mengeluarkan lubrikasi alami. Aku bangkit dari posisi nungging dan memutar tubuhku menghadap Andre.
"Andre..., ini hanya karena kita diburu waktu. Oke?" kataku tak ingin dianggap murahan di hadapan Andre.
Aku kemudian berlutut di hadapan Andre hendak memberikan oral pada penis yang tak kunjung berhasil memasuki vaginaku sejak tadi. Saat penis itu persis di depan wajahku, barulah aku mengerti mengapa penis itu begitu sulit masuk tanpa membuat nyeri vaginaku yang masih kering. Penis itu begitu... begitu gemuk. Panjangnya memang tak jauh berbeda dengan milik Mas Hendra, namun diameternya jauh lebih lebar.
Aku mulai mengoral penis gemuk itu, menjilat-jilat sedikit memberi godaan merangsang agar Andre segera takluk, kemudian memasukkannya ke dalam kulumanku agar basah untuk memasuki vaginaku. Mulutku terbuka lebar agar bisa memasukkan penis gemuk itu. Jantungku berdegup kencang saat mulai membasahi seluruh permukaan penis itu dengan air dari liurku.
Aku tak bisa mencegah debaran jantungku bertalu-talu terus menerus. Kuakui, penis gemuk bukan yang pertama bagiku. Bahkan mantanku sebelum pacaran dengan Mas Hendra memiliki penis yang gemuk dan panjang. Mengoral penis semacam ini seperti membuka memori lama yang membuat aku mengingat-ingat kembali saat vaginaku terkuak sangat lebar oleh penis besar mantanku.
"Kurasa cukup, Andre." Merasa waktu tak banyak, aku menghentikan layanan oral pada Andre dan bersiap mengambil posisi seperti tadi, nungging dengan berpegangan pada kusen jendela. Tangan kananku kembali terulur ke belakang menguak karet tengah celana dalamku ke samping, tanpa ragu aku menguak bibir vaginaku dengan jari tengahku selebar-lebarnya untuk penis gemuk itu.
Saat kurasakan benda hangat dan basah menyentuh liang vaginaku, aku sadar kenapa jantungku tak henti berdetak kencang mengalirkan darah dengan cepat ke seluruh tubuhku. Aku teringat dulu dengan mantanku yang berpenis jumbo, aku akan memberikan peneterasi setelah pemanasan yang lama dan basah. Saat ini aku akan mencoba menelan penis gemuk itu dengan vagina yang kering, bahkan tak terbuka sepenuhnya. Pantas saja jantungku nervous.
Aku tercekat saat Andre mendorong masuk. Bibir dan liang vaginaku terasa membelah dengan sempurna. Kugigit bibir bawahku saat kepala penis gemuk itu menerobos hanya berbekal licin hasil oralku. Sekuat tenaga kukokohkan lututku agar tak melengoskan pinggangku lagi dan membuat penis itu menclos seperti tadi. Lorong vaginaku merenggang pada posisi maksimal saat mili demi mili batang penis itu mengisinya, berakhir dengan mulut rahimku yang kurasakan menganga lebih lebar dari biasanya ketika mencoba menelan ujung penis gemuk itu.
"Ahh...!!!" Kami mengerang berbarengan ketika penis itu tertelan hampir seluruhnya, menyisakan lubang zipper yang menyentuh bibir vaginaku, membuat clitorisku seperti hendak meledak karena tertekan batang penis yang begitu gemuk.
Andre mencengkram pinggangku ketika mulai menggoyangkan tubuhnya.
"Oukkhh..., Andre! Lepaskan tanganmu... Ukh!!" Di sela-sela rangsangan kuat yang menimpa kelaminku, aku mencoba menegaskan batas yang telah kutetapkan.
"Res..., aku harus menjaga keseimbanganku." Tanpa menghentikan goyangannya, Andre tak bergeming dengan cengkramannya di pinggangku. Aku mengalah mendengar alasannya.
Dengan pelumas seadanya, hanya berasal dari layanan oral, ditambah ukuran penis yang gemuk, kulit permukaan kelaminku menjadi lebih menipis dari biasanya. Semua itu mengakibatkan kepekaan yang lebih tinggi saat menerima rangsangan. Aku sekuat tenaga menggelengkan kepala merasakan nikmat yang berlipat di alat kelaminku.
Siring dengan goyangan Andre yang intens, lorong vaginaku akhirnya bisa beradaptasi dengan ukuran penis gemuk Andre. Lama-kelamaan kurasakan penis itu makin lancar saja mendobrak-dobrak lubang kecil di selangkanganku itu. Aku terkejut sendiri dengan rasa yang semakin nikmat di dinding vaginaku. Dan ketika kudengar lamat-lamat suara crek, crek, crek dari belakang, kusadari aku juga basah, membuat penis itu semakin lancar dan licin mengaduk-aduk vaginaku.
Sial, ini di luar rencana. Aku tak semestinya terbuai oleh permainan sex ini. Seharusnya Andre sudah keluar saat ini. Berdasarkan pengalamanku saat, ini sudah terlalu lama untuk penderita ejakulasi dini. Sekuat tenaga kukencangkan otot vaginaku agar Andre selesai secepatnya.
"Oh, Res... itu diapain... heh, heh, heh," ceracau Andre tetap bergoyang. "Kok enak bangeth...heh, heh, heh."
Kupejamkan mata, konsentrasi pada kontraksi vaginaku. Namun perlakuan itu berbalik buruk padaku, atau mungkin berbalik nikmat. Kontraksi itu justru menambah nikmat juga pada diriku sendiri. Dalam sekejap aku sudah merasa banjir, dan saat leleran lubrikasi itu mengalir keujung clitorisku, seketika itu nikmat yang kurasakan meningkat berlipat.
"Ahh, Anrdre!" erangku melampiaskan perasaan. Saat melihat melihat deretan mobil macet di depan kantor, aku segera sadar waktu kami tak banyak.
"Cepat, Andre," pintaku mulai panik.
"OK, Res..."
"Crek, crek, crek...!!!"
Andre salah paham. Yang kupinta ia mempercepat selesai, malah ia mempercepat kocokannya.
"Houhh!!!" Vaginaku menggelora. Pahaku kaku menahan getaran di lututku. Goyangan Andre yang cepat semakin menaikkan gempuran erotis kenikmatan pada tubuhku.
"Ohhkkh, Andre!" Menjaga keseimbangan pada goyangan Andre yang cepat, peganganku pada celana dalamku terlepas, aku harus berpegangan dengan kedua tanganku pada kusen jendela. Celakanya, lamat-lamat dari deretan kemacetan kendaraan di depan kantor, aku melihat mobil suamiku di titik kejauhan. Saat aku menengok hendak mengingatkan Andre, tiba-tiba saja kurasakan Andre melepaskan penisnnya dari genjotan vaginaku.
"Karet celana dalammu bikin sakit, Res. Aku lepas ya..." pintanya tanpa kuduga.
Aku tertegun. Niatku mengingatkan urung terucap, diganti anggukan tanpa kusadari. Cemas karena melihat mobil suamiku yang mulai mendekati kantor, panik dengan kondisiku yang begitu saja terlena dan membasah di kelaminku penuh nafsu, ditambah rasa penasaran pada penis yang tadinya kuremehkan namun tak kunjung ejakulasi, aku pasrah ketika Andre meraih karet pinggang celana dalamku dan meloloskannya melewati bulatan pantatku, melorot hingga ujung pahaku.
"Cepat, Andree..." Maksudku karena waktu yang sempit.
"Siap!!!" Andre dengan mantap meraih pinggangku dari bawah rokku yang tersingkap. Cengkramannya begitu kokoh menjepit kulitku dengan lembut. Detik berikutnya kembali kurasakan bibir vaginaku membelah, lorong vaginaku merenggang pada titik maksimal, dan mulut rahimku harus menganga lebar lagi setelah istirahat yang tak sampai semenit.
"Hieehhh... ahh!!!" Aku sempat melihat sekilas mobil suamiku kian mendekat terjebak macet, sebelum akhirnya aku kembali tak kuat membuka mata, terbuai pada gempuran bertubi-tubi penis gemuk yang telah membuat vaginaku nanar, membanjir, dan kian lama kian licin dan sensitif.
Aku tadinya berharap dengan hilangnya celana dalamku, tak ada lagi yang menghalangi nikmat pada penis Andre untuk mencapai puncak dan akan segera muncrat. Namun yang terjadi sebaliknya. Perlahan namun pasti aku mulai merasakan gelombang tuntutan orgasme mulai berdatangan, bagaikan aliran ombak yang bersumber dari kelaminku, terus menerus mengirimkan sinyal-sinyal beruntun ke otakku. Sekuat tenaga kucengkram kusen jendela. Lututku bergetar dan beradu dengan tekanan yang kuat, membuat celana dalamku yang tadinya masih tersangkut di paha kini melorot tersangkut jepitan lututku, berkibar-kibar seiring sodokan Andre yang terus menerus.
"Ahh!!!" Aku tercekat dengan hati menclos ketika tanpa peringatan sebelumnya Andre tiba-tiba mencabut penisnya lagi. Ketika kutengok ia tengah memegang ikat pinggangnya, hendak meloloskan pinggang celananya. Sepertinya batang penis gemuk itu hendak mendorong sampai mentok tanpa terhalang celah zipper celana.
Ketika menoleh kembali keluar jendela, aku bergidik, mobil suamiku telah memasuki gerbang kantor, hendak menuju tempat parkir. Kurenggangkan lututku menyebabkan celana dalamku luruh ke pergelangan kakiku, tangan kananku menjulur ke belakang di antara kedua pahaku, menangkap penis gemuk Andre yang tegang bagaikan tonggak vas bunga itu. Kutarik penis yang belum terbebas dari celana itu ke bibir vaginaku.
"Cepat selesaikan, Andre!!!" perintahku.
"Tapi, Res. Aku buka celana dulu, gak nyaman nih."
Kujawab keluhan Andre dengan mendorong pantatku ke belakang membenamkan penis itu dalam celah vaginaku lagi. Penis itu meluncur licin tanpa halangan, memberikan siksaan nikmat yang sesak dalam lorong kemaluanku.
"Cepat selesaikan, atau ini harus berakhir sekarang..." Ada pertaruhan dalam kalimatku barusan, karena sejujurnya kini aku pun mengharapkan penyelesaian.
"OK" Andre kembali bergoyang seperti kerasukan. Aku tak menduga seperti itu. Goyangan itu tak pelak langsung menyerang titik paling rentan pada pertahanan orgasmeku. Sementara kulihat Mas Hendra sudah keluar dari mobilnya.
"Ccceepppattt.... Andddrrree hhhhhh..." Ditingkahi serangan bertubi-tubi, aku masih saja berharap bahwa itu pertanda Andre akan segera selesai. Akan halnya diriku, harga diriku yang tadinya sebagai penantang, kini telah berada di ambang keruntuhan. Satu-satunya yang membuat aku mampu bertahan hanyalah rasa panikku melihat suamiku sudah mulai melangkah ke lobi kantor di lantai satu, membuatnya hilang dari pandanganku.
Sekuat tenaga aku bertahan, namun gempuran dahsyat penis gemuk yang terus-menerus mengaduk-aduk bagian sensitifku yang tengah merenggang maksimal, membuat aku tak bisa berbuat banyak ketika gelombang orgasme itu hendak pecah. Saat aku tak bisa lagi memastikan suamiku sudah sampai ke mana melangkah menuju tempat kerjaku di lantai tiga ini, alam bawah sadarku mengibarkan bendera putih. Aku tak mampu lagi menahan gelora orgasme yang telah memusatkan diri di mulut kelaminku. Perutku terasa sedikit keram mendorong sensasi rasa kebelet, lututku bergetar makin hebat, dan vaginaku terasa menegang bersiap melepaskan puncak gairah.
"Ahh!!! Sial!!!" Aku sempat mengumpat meluahkan perasaan ketika tak bisa kucegah pantatku terdorong sendiri dengan keras, menyongsong penis gemuk Andre hendak menelan sepenuhnya, hingga pegangan zipper celana Andre terasa sedikit menusuk bibir luar vaginaku. Aku mengejang. Kenikmatan yang kurasakan membuat aku memasuki rasa exstase yang sangat memabukkan. Detik berikutnya lututku melunglai karena kurasakan Andre tak henti-hentinya mengocok penisnya pada vaginaku yang menjadi sensitif tak terhingga setelah mencapai puncak birahinya. Gemetaran aku ambruk di lantai tak kuasa menerima rangsangan terus menerus dari penis gemuk yang masih saja perkasa. Beruntung Andre masih sempat meraih sudut meja tak jauh dari tempatku terjatuh, keseimbangannya hilang karena tadi berpegangan pada pinggangku. Kelaminku masih mengejat-ngejat tiap beberapa detik melampiaskan orgasme ketika grendel pintu ruang kerja ini mengeluarkan suara "ceklek".
"Resty nggak ada, ya?" suara suamiku. Ia tak melihatku yang tengah ambruk karena tertutupi meja yang sedang dijadikan tumpuan oleh Andre saat menahan tubuhnya menimpaku.
"Eeh... ee... ee..." Andre tergagap. Kondisinya betul-betul tak mendukung keadaan. Satu-satunya yang membuat Mas Hendra tak dapat melihat penisnya yang masih mengacung tegak keluar dari zipper celananya hanya karena posisinya yang membelakangi Mas Hendra. Melangkah sedikit saja, Mas Hendra pasti akan bisa melihat penis itu mengkilat ditimpa cahaya senja, memantulkan cairan licin yang berasal dari vaginaku.
Aku berpikir cepat. Dari bawah meja aku menurunkan dan merapikan rok miniku cepat. Celana dalam yang masih menggantung di pergelangan kakiku tak mungkin kunaikkan, kutendang ke bawah meja lebih dalam. Ide konyol yang entah datang dari mana membuatku melepaskan cincin kawin di jari manisku.
"Eh... Mas Hendra udah dateng." Aku bangkit menahan linu nikmat di lututku yang masih saja bergetar mengimbangi vaginaku yang masih aja berkedut walaupun kini mulai lemah.
"Ini, Mas. Tadi pas aku perlihatkan cincin kawin sama Andre, cincinnya jatuh ke bawah meja."
Cepat aku melangkah ke arah Mas Andre agar pandangannya tak terfokus pada Andre. Saat melewati Andre yang membelakangi Mas Hendra, kusempatkan secepat kilat menepuk penis gemuk yang kini sudah setengah kendor karena terkaget-kaget.
"Cepat tutup!" bisikku tak kentara di telinga Andre tanpa menoleh. Untungnya Mas Hendra tak melihat semua itu karena matanya fokus pada cincin yang sedang kutunjukkan.
Melangkah cepat pada Mas Hendra, aku memberikan pelukan dan ciuman agak lama padanya, memberikan kesempatan pada Andre memasukkan penisnya ke dalam celana. Untunglah tadi hanya dikeluarkan dari lubang zipper.
"Yuk pulang." Kugelendoti tangan Mas Hendra sambil meraih tas kerja di atas meja kerjaku. Menahan sensasi lega pada vaginaku yang masih hangat membasah, aku melangkah ditingkahi rasa geli yang harus kutahan pada tiap tapak langkahku.
Aku tak banyak bicara saat melangkah menuruni tangga ke lantai satu. Selain memang Mas Hendra membicarakan tetek bengek kantornya yang tak begitu penting, pikiranku berkecamuk meramu semua kejadian yang baru saja lewat. Bagaimana aku menghadapi kenyataan yang tak sesuai dengan perkiraanku. Cerita tentang Andre ejakulasi dini tak terbukti sama sekali, malah membuat aku harus bertekuk lutut di hadapannya, bertekuk lutut secara harfiah karena aku betul-betul ambruk ketika orgasme tadi, bertekuk lutut juga secara kiasan dimana harga diriku sebagai penantang dicabik-cabik disiksa nikmatnya persetubuhan dengan penis gemuk Andre.
Saat keluar dari lobi kantor, angin bertiup mendesirkan rasa geli di kelaminku yang tak berpenutup celana dalam. Ketika akan memasuki mobil, kodrat kewanitaanku yang memiliki ego berkuasa dari kelamin memberontak. Aku menutup pintu mobil tanpa memasukinya.
"Kenapa, Ma?" Mas Hendra membuka jendela mobil mengintip dari kursi kemudi.
"Pa..., tiba-tiba Resti mules banget. Salah makan kali pas rapat tadi. Resty ke toilet dulu, ya."
Tanpa menoleh aku bergegas kembali ke lobi kantor. Setengah berlari aku menaiki tangga. Kancing-kancing blazer kubuka sembari berjalan cepat saat mencapai ujung tangga. Tak sabaran kubuka pintu ruang divisi kerjaku dengan suara ceklek yang menggema ditingkahi sunyinya kantor. Memasuki ruangan kutemukan Andre masih duduk termenung di salah satu kursi. Memandang tajam seakan hewan buas yang hendak mencengkram mangsanya, kukunci pintu memastikan tak ada yang memasukin ruangan saat kami bercinta. Kulepaskan blazerku dan kulempar begitu saja dilantai menyisakan tanktop dan BH, sembari melangkah gemulai melenggokan pinggulku seseksi mungkin mendekati Andre. Terkesima Andre seperti orang bodoh yang menemukan rumus fisika tersulit, bengong namun penuh minat. Kukangkangi Andre menempatkan kedua kakiku di kedua sisi kursi yang dududuki Andre. Dengan paha terbuka lebar aku duduk di pangkuan Andre. Andai tak ada rok, tentu pantat dan vaginaku akan terlihat membelah di antara paha Andre. Kukecup bibir di wajah bloon itu, kucucupkan lidah menelusuri rongga mulut yang begitu saja menerima ciuman penuh nafsu dari perempuan yang kini harga dirinya dilecut birahi. Dan hatiku begitu saja terletup dalam gelora ketika Andre justru membalas ciumanku dengan kecupan-kecupan lembut.
Lelaki memiliki cara berciuman berbeda-beda. Aku pernah menjalin cinta dengan lelaki yang memiliki ciuman kasar dan egois, ini harus dinikmati dengan perlawanan tak kalah garang. Mas Hendra memiliki ciuman yang tegas, sangat menunjukkan kuasa, aku harus menunjukkan sikap patuh agar bisa menikmatinya. Sementara lelaki di hadapanku ini memberikan ciuman menggelitik yang lembut, tak ada yang harus kulakukan selain menikmati tiap sentuhan yang membuai untuk menikmatinya.
Ciuma kami begitu basah, begitu intens, begitu membakar birahi. Kurangkul leher sang kesatria ketika kurasakan tangannya menelusup dari bawah tanktopku, merambat ke atas menyusuri punggungku, mencapai tali BH di bawah tulang belikatku. Jari-jari Andre seperti mencari sesuatu, aku geli juga dalam hati melihatnya tak menemukan apa-apa.
Kulepaskan ciuman yang memabukkan itu. Memandang dengan senyum penuh birahi, perlahan kuangkat tanktopku hingga ke leher. Andre tertawa kecil menggelengkan kepala ketika akhirnya menemukan kaitan BH-ku ada di depan. Memandang takjub pada buah dadaku, jemari Andre melucuti kait penutup dada itu, membebaskan dua bukit yang tadinya bersemayam. Andre membelai buah dada kiriku dengan tangan kanannya, meremas daging kenyal itu, membuatku penasaran ia tak kunjung menyentuh bagian paling sensitif puting susuku. Malah aku akhirnya menyorongkan buah dada kananku ke mulutnya, kupegang dengan tangan kananku dan kusuapi ke mulutnya. Bukannya mencaplok seperti yang kuharapkan, Andre malah mengecup-ngecup pelan aerola di sekeliling putingku. Ditingkahi harapan yang tak kunjung di penuhi, aku frustasi memejamkan mata dan meremas rambut di belakang kepala Andre dengan tangan kiriku.
"Auuhhh!!!!" Di saat yang tak kuduga-duga, Andre menghisap ganas puting buah dada kananku, serentak dengan pelintiran di puting kananku. Aku terkesiap, shock dalam kenikmatan yang kurindukan dan datang dengan tiba-tiba.
Bergantian Andre melahap payudaraku kiri dan kanan, sementara tangannya mulai merayap di belakangku, menyingkap rokku dan meremas bulatan pantatku yang menggelantung di antara kedua pahanya. Saat aku terbuai pada kuluman dan hisapan di dadaku, kurasakan jemari andre mencolek sekilas ujung clitorisku dengan jarinya, hanya sekilas, namun itu sudah membuat lorong vaginaku mengejat ketagihan.
Ingin rasanya kubalas perlakuan Andre dengan menelanjangi celananya dan menelan penisnya dalam kulumanku, namun posisiku tak memungkinkanku melakukannya. Kudorong kepala Andre yang sedang menyusu pelan dan berdiri mengangkangi pahanya. Kujangkau kancing ikat pinggangnya hendak melucuti celananya. Menyadari aku kesulitan, Andre berinisiatif membukanya sendiri, maka kuisi waktu dengan mengangkat tanktop sekaligus BHku melewati kepalaku, menyisakan hanya rokku saja yang menutupi tubuhku.
Saat pandanganku terbebas dari tanktopku, terpampang di hadapanku, penis yang tegak mengacung menuding selangkanganku yang mengangkanginya, terbebas dari celana sekaligus celana dalam yang kini telah melorot hingga ke lutut pemiliknya. Tak seperti tadi yang terbatas hanya pada celah zipper, aku kini bisa memandang penis itu seutuhnya.
Kuraih batang kejantanan itu dan mulai menduduki kembali paha Andre, dengan penis yang menuju tepat ke belahan vaginaku.
"Hmm..." Kami bergumam bersamaan saat kelamin kami kembali menyatu. Tak seperti tadi yang membutuhkan waktu diawali rasa sakit. Penis itu kini menyesaki lorong kemaluanku yang telah membanjir, tak ada yang lain selain nikmat yang kurasakan.
Posisi Andre tak memungkinkan aku menelan penisnya seutuhnya untuk merasakan pangkal penis yang rimbun menjepit clitorisku. Namun gemuknya penis Andre tak membutuhkan lesakan penuh untuk menghasilkan clitoris yang terjepit sesak. Tanpa sadar aku menggoyang pinggangku depan belakang, memusatkan kenikmatan pada bagian tersensitif yang menonjol di sudut atas vaginaku itu. Namun demi melihat Andre tak sepenuhnya menikmati goyangan seperti itu, aku menggerakkan lututku agar tubuhku turun naik di atasnya.
"Ohh... yes!" Andre mendongak merasakan gempuranku. Tak kupedulikan cengkraman tangannya di pantatku hendak menahan gerakanku.
"Uhhh...., Res." Andre menggeleng. Dari pantatku, ujung jemari kedua tangan Andre menjangkau bibir vaginaku, menguak lebar belahan selangkanganku itu hendak mengurangi rangsangan pada penisnya yang kuremas dalam nikmat lorong kelaminku.
"Oh, Sial!" kemaluanku yang sejatinya memang sudah merenggang maksimal disesaki penis gemuk itu kini malah semakin tipis saat dikuak begitu oleh tangan Andre, menghasilkan sensitif sejuta kenikmatan.
Ditingkahi kenikmatan seperti itu, lututku bergetar. Tak mampu lagi aku bertumpu pada lututku itu untuk menggoyang turun naik. Kurebahkan kepalaku di bahu Andre melampiaskan perasaanku.
Merasa didiamkan, tiba-tiba Andre bergoyang menusuk-nusuk dari bawahku. Kembali kurasakan gempuran nikmat melunglaikan lututku. Putus asa kucoba merapatkan lututku namun terhalang paha Andre. Akhirnya aku menyerah ketika orgasmeku kembali menjelang. Tak ingin terpuruk harga diriku lagi, tanpa mempedulikan gelombang orgasme yang mendekat, aku berikan perlawanan ganas menggoyangkan pinggangku depan belakang, mengimbangi tusukan tak kalah ganas Andre di bawahku.
"Ahhkkkhhh!!!" Kuangkat pantatku tepat saat vaginaku mengejang. Mundur beberapa tindak kurapatkan pahaku lekat-lekat saat terbebas dari paha Andre. Aku terpejam mengejat-ngejat saat ritme orgasme meluluhlantakkanku. Beruntung di belakangku ada meja tempat bersandar hingga aku tak ambruk lagi di hadapan pejantanku ini.
Terengah aku memejamkan mata, meresapi orgasme keduaku dalam kekuasaan Andre. Aku tak tahu berapa lama aku memejamkan mata, namun ketika membuka mata, kulihat Andre telah berdiri dari kursi dengan celana sudah terbuka seluruhnya, hanya menyisakan kaos kaki sebagai pakaian bawahnya. Kini ia tengah melepas kancing-kancing kemejanya. Latah aku pun meraih kencing rok miniku di belakang, detik berikutnya kami sudah berdiri berhadapan dalam keadaan bugil.
Tetap bersandar pantatku di pinggiran meja, tanganku bertumpu di belakang punggungku di atas meja, kusambut uluran tangan kiri Andre di payudara kananku dengan desahan. Sembari meremas lembut buah dadaku, kembali Andre memberikan ciuman-ciuman lembut seperti tadi. Aku bergidik merasakan ujung penis mengganjal di tulang pubisku saat kami berciuman.
Sembari tetap menggerayangi dadaku dengan tangan kirinya, tangan kanan Andre meraih lutut kiriku, mengangkatnya hingga sejajar dengan pinggangnya. Berusaha menyeimbangkan diri, pantatku beringsut sedikit di pinggiran meja, mencangklong cukup agar aku tak merosot, tanganku yang tadinya bertumpu pada meja kini menggelendot di leher Andre, sementara kaki kananku naik melingkari pinggang Andre.
Andre sedikit menekuk lututnya hingga ujung penisnya yang tadinya mengganjal di pubisku merayap turun, terus menemukan ujung atas belahan vaginaku, aku mengerang ketika melewati ujung clitorisku, terus turun menemukan lubang vagina yang telah menganga pasrah, lengkap dengan pelumas yang sudah sangat berlebihan, baik karena birahi, maupun karena orgasme yang telah menerpa dua kali.
"Ahh!!!" Kami mengerang bersamaan seiring penis Andre kembali membelah bibir vaginaku, menyesaki lorongnya hingga mulut rahimku.
Nangkring di pinggiran meja, bergelayut pada leher Andre, kami kembali mengayuh asmara dengan tubuh telah sepenuhnya telanjang. Persetubuhan ini terasa begitu intim, kami begitu dekat dengan persentuhan kulit seluruhnya tanpa penghalang lagi. Aku yang belum sepenuhnya pulih dari ledakan orgasme yang baru saja terjadi, dipaksa menjemput kepuasan selanjutnya. Posisi pantatku yang hanya separuh tersangkut di pinggir meja, menghasilkan tekanan lebih di biji clitorisku saat penis gemuk Andre kembali mengocok-ngocok keluar masuk di mulut vaginaku.
"Ohhh, Res. Ternyata rasanya lama-lama begitu licin... heh, heh. Aku tak pernah merasakan selicin ini... heh, heh." Andre meracau disela-sela goyangannya.
Aku merenggangkan sedikit pelukanku, memandang wajah yang tengah mengayuh birahi itu di hadapanku.
"Jadi kamu nggak pernah selama ini?" pancingku. Sejujurnya aku pun penasaran dengan rumor ejakulasi dini Andre yang telah menaklukkanku dua kali.
Merasa terjebak, Andre kembali merengkuhku dalam pelukannya, mengalihkan wajah kami yang tadinya berpandangan. Aku tak bisa lagi memikirkan pertanyaanku lagi ketika aku sepertinya akan orgasme lagi. Aku merasakan gelombang orgasme mulai datang ketika Andre berbisik.
"Res, kamu pake pil? Aku mau keluar."
"Pindah dulu, Andre. Mejanya penuh buku, aku pengen baring. Kita ke lantai."
Tadinya aku mengira Andre akan berhenti saat kami pindah ke lantai. Namun yang terjadi justru Andre meraih pantat dan menarikku dalam gendongannya dengan penis menancap penuh pada vaginaku.
"Aahkkhh!!! Andre!!!!" Tekanan pada clitorisku semakin kuat ditambah berat tubuhku dalam gendongan Andre. Seketika aku mengejang, memeluk erat dalam gendongan Andre, tak bisa kucegah vaginaku mengejat dahsyat.
"Yuk, turun. Berat nih." Andre sudah berdiri di dekat hamparan blazerku di lantai. Dengan lutut masih bergetar aku turun dan langsung ambruk di atas blazerku. Penis Andre yang terlepas dari vaginaku terasa mencongkel lubang kecil di selangkanganku itu, membuatku hampir pingsan.
Tak memberiku waktu, karena sudah di ujung birahinya, Andre segera memposisikan diri di antara kedua pahaku, merenggangkannya sepenuhnya dan melesakkan penisnya dengan licin di vaginaku yang baru saja orgasme.
"Aaukkhhh..." Aku berteriak nyaring saat penis itu membenam dengan cepat diiringin genjotan cepat memburu puncak kepuasan. Kelaminku yang tengah dalam kesensitifan tingggi setelah orgasme tak bisa berbuat banyak digempur seperti itu. Mulut vaginaku tak henti-henti mengejat dalam orgasme panjang yang tak kunjung henti karena genjotan terus menerus penis Andre.
"Oh, Res......." Andre menekan dahsyat, menyemburkan spermanya di dalam rahimku yang dengan pasrah menelan seluruh pancaran benih yang ditanam pejantan. Aku sudah setengah sadar ketika Andre memberikan kecupan di keningku, mengantar aku terlena dalam buaian orgasme yang masih mengejat ketika penis Andre mengendor dan perlahan merosot keluar dari vaginaku yang licin.
Aku tak tahu berapa lama aku terlena hingga kudengar dering ponsel pribadiku dari tasku. Saat kesadaranku penuh, Andre sudah tak ada lagi menyisakan aku meringkuk telanjang di lantai, hanya beralaskan blazerku yang sudah kusut.
"Hallo..." ucapku lemah, menyaksikan nama Mas Hendra di layar handphone.
"Halo, Ma. Kamu nggak apa-apa? Kok lama banget di toilet." Suara Mas Hendra di seberang terdengar khawatir.
"Iya, Mas. Ini sudah selesai kok," balasku lemah karena letih, mungkin dianggap karena diare oleh Mas Hendra di seberang.
Mengumpulkan semua kekuatanku yang telah remuk redam digenjot Andre, kupungut seluruh pakaianku dan melangkah ke toilet ruang divisi kerjaku. Kugedor bilik toilet yang pastinya sedang digunakan Andre, satu-satunya orang lain selain aku di ruang ini.
"Aku duluan..." kataku tegas saat Andre membuka pintu dan mengintip. Ia masih telanjang sepertinya tengah membersihkan penisnya.
Cuek aku melangkah ke toilet, mengangkanginya dan merebut semprotan toilet dari tangan Andre. Menggerak-gerakkan otot vaginaku, kudorong sperma Andre yang masih tertinggal hingga berluruhan ke toilet.
"Kamu berhutang penjelasan, Andre," kataku seraya menyerahkan kembali semprotan toilet dan mengambil berlembar-lembar tissu.
"Kenapa yang terjadi sangat jauh berbeda dari cerita Neni?" Aku bertanya seraya melangkah ke westafel tempat aku meninggalkan tumpukan pakaianku.
"Jelaskan, Andre. Aku harus segera pulang." Aku sedikit membentak karena Andre masih saja bengong menyaksikan aku mulai memasang celana dalamku.
"Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Neni, ya. Hmmm...." Andre berbicara sementara aku berpakaian.
"Neni nggak bohong, itu benar kok. Hanya baru kali inilah aku bisa nikmatin sex seutuhnya, tak harus terputus oleh sperma yang tak putus-putus muncrat."
"Tak putus-putus?" Aku heran sambil mengaitkan BH ke belakang.
"Ya. Aku dulu tak pernah tahu kalau aku bermasalah di prostat. Aku kira ejakulasi dini biasa. Secara emosi aku sudah berlatih keras untuk masalah ejakulasi dini, namun tak ada hasilnya. Sejak diputuskan Neni aku mulai konsultasi ke dokter. Saat therapy baru ketahuan ternyata itu bukan ejakulasi dini, karena spermaku keluar terus menerus, tidak memancar. Ternyata masalahnya terletak di ampul prostatku yang lengket hingga tak bisa menampung sperma sebelum dipancarkan keluar. Itu disebakan cedera saat aku jatuh duluuu sebelum puber. Setelah operasi kecil memperbaiki ampul spermaku, baru kali ini aku mencoba untuk bermain sex lagi. Kayaknya berhasil."
"Oh. Jadi aku kelinci percobaan." Aku mencibir saat memperbaiki sapuan terakhir di rambutku.
Andre cuma nyengir kuda dari dalam bilik toilet, telanjang memegang semprotan toilet. Penis gemuknya menjuntai menggoda pandanganku. Aku menjulurkan lidah, meraih tas hendak berlalu.
"Res..." panggilnya saat aku mulai melangkah hingga membuatku menoleh.
"Aku tadi lumayan lama. Apa aku bisa memuaskanmu?"
Aku sedikit heran dengan pertanyaan Andre. Namun demi mengingat bahwa ini pertama kalinya ia bersetubuh dengan durasi yang cukup lama, pertanyaan itu jadi mudah dipahami. Hingga terbetik kejahilan dalam hatiku menjawab pertanyaannya.
"Huuu... itu aja nggak tau," ejekku. "Cari tahu sendiri jawabannya. Kalo belum ngerti berarti belum terbukti keperkasaannya."
Aku berlalu menutup pintu toilet, mengacuhkan ekspresi bingung di wajah Andre, melangkah dengan perasaan plong menemui suamiku yang tengah menunggu di tempat parkir.

from Cerita Cewek Biru | Cerita Cewek Eksibisionis dan Suka Pamer Keseksian

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Cari Blog Ini